Dalam dua dasawarsa terakhir,
pemahaman mengenai mekanisme gangguan kesehatan berkembang, terutama yang
berhubungan dengan penyakit degeneratif. Maka pemahaman seputar radikalbebas dan antioksidan pun berkembang lebih luas.
Proses metabolisme tubuh
selalu diiringi pembentukan radikal bebas, yakni molekul-molekul yang
sangat reaktif. Molekul-molekul tersebut memasuki sel dan
“meloncat-loncat” di dalamnya. Mencari, lalu “mencuri” satu elektron
dari molekul lain untuk dijadikan pasangan. Pembentukan radikal bebas dalam
tubuh pada hakikatnya adalah suatu kejadian normal, bahkan terbentuk secara
kontinyu karena dibutuhkan untuk proses tertentu, di antaranya oksidasi lipida.
Tanpa produksi radikal bebas, kehidupan
tidaklah mungkin terjadi. Radikal bebas berperan penting pada ketahanan
terhadap jasad renik. Dalam hati dibentuk radikal bebas secara enzimatis
dengan maksud memanfaatkan toksisitasnya untuk merombak obat-obatan dan zat-zat
asing yang beracun.
Namun pembentukan radikal bebas
yang berlebihan malah menjadi bumerang bagi sel tubuh, karena sifatnya yang
aktif mencari satu elektron untuk dijadikan pasangan. Dalam pencariannya,
membran sel dijebol dan inti sel dicederai. Aksi ini dapat mempercepat proses
penuaan jaringan, cacat DNA serta pembentukan sel-sel tumor.
Radikal bebas juga “dituding” dalam proses pengendapan kolesterol LDL
pada dinding pembuluh darah (aterosklerosis).
Tubuh memerlukan bala bantuan untuk
mengendalikan jumlah radikal bebas yang melampaui kebutuhan itu, yaitu
antioksidan yang sebenarnya sudah terbentuk secara alamiah oleh tubuh.
Berdasarkan sifatnya, antioksidan mudah dioksidasi (menyerahkan elektron),
sehingga radikal bebas tak lagi aktif mencari pasangan elektronnya.
Unsur antioksidan yang terpenting
adalah yang berasal dari vitamin C, E dan A serta enzim alamiah. Demi
memenuhi tuntunan itu, berbagai upaya dilakukan, misalnya dengan mengonsumsi
lebih banyak buah dan sayur yang kaya akan vitamin dan mineral tertentu.
Ada pula yang menempuh cara lebih praktis, yaitu mengonsumsi suplemen,
baik yang berbahan dasar alami maupun yang sintetis.
Belum banyak yang memahami benar
seberapa banyak kebutuhan tubuh kita akan vitamin A, C dan E yang dikelompokkan
sebagai antioksidan. Sebagai contoh masih terdapat perbedaan pendapat
tentang dosis Vitamin C yang perlu dikonsumsi setiap hari.
Sebagian pakar merekomendasikan cukup 60–70 mg, dengan alasan cukup untuk
kebutuhan setiap hari. Jika mengonsumsi berlebih akan terbuang dalam urin.
Sedangkan yang lain menganjurkannya 500–1.000 mg agar Vitamin C bukan sekedar
memenuhi kebutuhan tubuh untuk stimulasi proses metabolisme,
tetapi benar-benar dapat berfungsi sebagai antioksidan.
Beberapa pakar nutrisi berpendapat,
bahwa kecukupan antioksidan dapat diperoleh dengan cara menjaga polamakan bergizi seimbang. Namun, pada kenyatannya tidak banyak yang
dapat melakukannya setiap hari. Sebagai contoh, bagi kalangan
berpendapatan kelas menengah-bawah buah-buahan yang dijual pada umumnya relatif
mahal, sehingga kebutuhan akan vitamin yang tergolong anti oksidan menjadi
berkurang. Mereka berpendapat dapat digantikan dengan suplemen
yang lebih murah. Namun keunggulan suplemen ini tetap kalah jika dibandingkan
dengan makanan alami, karena pada yang alami terdapat vito chemicals,
yaitu sekumpulan bahan-bahan kimia yang mempunyai fungsi belum diketahui
secara rinci.
Ada pula yang berpendapat, dalam
mengonsumsi suplemen, mengambil dosis yang moderat, artinya tidak menggunakan
vitamin dengan dosis terlalu tinggi, contohnya 500 mg Vitamin C setiap
hari. Penggunaan dosis tinggi dianggap tidak baik bagi kesehatan, apalagi
digunakan dalam jangka panjang. “Beberapa studi menunjukkan, dosis terlalu
tinggi mengubah sifat antioksidan menjadi prooksidan,” peringatan
dr Benny Soegianto, MPH. (alm) dalam sebuah wawancara dengan reporter majalah
kesehatan tujuh tahun silam. Kendatipun demikian sampai saat ini masih
banyak konsumen yang tergoda untuk rutin memakai dosis tinggi karena terbuai
janji khasiatnya sebagai penghambat proses penuaan.
Tubuh kita sendiri, lanjut dr Benny
seringkali mampu memberikan sinyal kekurangan vitamin tertentu.
Sebagai contoh, jika Vitamin B dan C dalam kurun waktu tertentu tidak cukup
dikonsumsi dan tubuh sedang bekerja keras, maka akan timbul sariawan dan
tubuh akan terasa pegal. Oleh karenanya kecukupan kedua macam
vitamin tersebut perlu dijaga dengan cara–suka tidak suka- mengonsumsi buahsegar setiap hari dalam porsi yang memadai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar